BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya masa ke masa tidak pernah memakan sosokImam Al-Ghazali sebagai seorang filosof dan teolog muslim besar yang berpengaruh terhadap dunia pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran Beliau sangat perlu diketahuipada zaman sekarang ini yang semakin kompleks sebagai solusi untuk mengapai “ketenaganan diri”.
Beradasarkan latar belakang tersebut, maka kami berusaha sebisa mungkin untuk membuat makalah ini, sebagai wujud keperdulian kami untuk masyarakat dan sebagai bukti pengamalan ilmu yang kami dapat. Selain itu, ini juga sebagai tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak dan Tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali?
3. Apa saja karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali?
4. Apa pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali terhadap dunia Islam?
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
1. Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali
2. Mengetahui pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
3. Mengetahui karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali
4. Mengetahui pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali terhadap dunia Isam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Imam AGhazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun 1020 M.
Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai algazel di dunia Barat pada abad pertengahan.Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau hidup miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ayah Ghazali hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajal tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’a yang ia panjatkan. Namun, cita-cita ayah Ghazali terbukti dengan keberhasilanImam Al-Ghazali menjadi filosof dan teolog muslim terkemuka pada zamannya.
Awal mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
1. Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbing dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al-Haramaîn Al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An-Nizhâmiyah Nisyapur. Al-Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al-Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al-Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah, Ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘Inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?, Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 52-53 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54/55 tahun.
B. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
1. Filsafat Al-Ghazali
Sebagaimana kecenderungan umum pemikir filsafat yang selalu bergerak di antara manusia, alam, dan Tuhan, maka hampir seluruh pemikiran Islam terpusat pada masalah usaha manusia memahami dirinya sendiri, alam sekitarnya dan kemudian Tuhan. Manusialah di antara makhluk yang paling mampu menganalisis dirinya sendiri. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia termasuk malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.
Usaha manusia untuk mengerti tidak hanya berhenti pada objek dirinya sendiri, akan tetapi bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia segala sesuatu yang ‘ada’, termasuk mencoba mengerti Tuhan.
Dalam tradisi pemikiran Islam, dunia dan alam semesta ini justru diciptakan karena Allah mencipta manusia. Manusia yang menjadikan alam dunia ini mempunyai makna dan berfungsi. Untuk maksud tersebut Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin dan khalifah di muka bumi.
Namun segera sebuah pertanyaan dapat diajukan mengenai siapa manusia itu sesungguhnya. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang cukup pelik untuk dijawab. Akan tetapi tingkat kesadaran manusia terhadap eksistensinya sendiri yang bertaraf lebih tinggi daripada makhluk Tuhan lainnya telah menuntun manusia menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban-jawaban yang hampir mendekati kebenaran.
Kehampiran terhadap penemuan kebenaran di atas menyebabkan manusia sangat bersemangat untuk mencapainya. Akan tetapi, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ternyata sepanjang sejarah itu sendiri manusia belum selesai dan mencapai apa yang dicarinya. Di sinilah manusia selalu terdorong untuk bersikap kreatif dan kritis namun juga menyebabkan sebagian orang bersikap skeptis dan pesimistis.
Di samping sikap tersebut di atas, sebagian lain kemudian menyebutkan bahwa kebenaran pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan akhir-akhir ini sebagian mereka menyebutkan bahwa apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah haruslah berupa suatu proposisi yang menimbulkan keraguan. Akankan demikian pemikiran Islam dan Imam Al-Ghazali? Yang pasti berbeda adalah keyakinan mereka terhadap adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap pemikir muslim mengarahkan kegiatan pemikiran mereka.
Berdasarkan pandangan tentang alam dan manusia, Imam Al-Ghazali menempatkan roh dalam kerangka metodologi untuk memperoleh dan memahami kebenaran Islam. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali memandangan bahwa penempatan roh dalam struktur kepribadian dan tindakan adalah merupakan problem utama konsistensi manusia terhadap hakikat keberadaannya.
Bagi Imam Al-Ghazali, hanya menempatkan rohsebagai substansi eksistensi secara fungsional, manusia akan memiliki kekuatan dan keberanian untuk bersedia menyerah secara mutlak kepada kebenaran. Hal itu disebabkan hanya roh yang memilki kebebasan sebagai landasan mengatasi dunia objektif yang dimensional. Hanya roh yang memiliki kemampuan membebaskan diri dari keterbatasan penguasaan terhadap objek duniawi dalam arti yang kesekarangan yang kedekatan serta pendek. Dengan demikian maka hanya roh yang memiliki peluang untuk memahami dan mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan dan kebahagian. Inilah salah satu pemikiran Imam Al-Ghazali dalam berfilsafat.
2. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf sunni yaitu berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah.Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. PandanganAl-Ghazali tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah), di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik. Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf. Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Masjid Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tasawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/AkhlakImam Al-Ghazali
Akhlak sebagai bidang studi pada saat ini, sangat diperlukan di dalam proses sosialisasi. Hubungan manusia kepada ‘Alam pada kenyataannya kurang dapat dikatakan bagus. Kerusakan-kerusakan yang ada pada dunia ini, semuanya itu bermula dari ulahnya manusia yang kurang bertanggung jawab. Maka mengkaji secara mendalam “Akhlak” sangat diperlukan sebagai pedoman dalam bersosialisasi dengan ‘alam secara baik.
Menurut Al-Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al-Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an-nafs al-bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an-nafs as-sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an-nafs an-nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al-Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al-Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash-shirât al-mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al-Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat etika Al-Ghazali adalah Tashawuf Al-Ghazal, yang bertujuan pokok:Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al-Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al-qalb).
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al-Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al-Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.
Al-Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:
- Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
- Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
- Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
- Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
- Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
- Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
- Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
- Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
- Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
- Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
- Al Mustasyfa (yang terpilih).
- Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
- Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
D. Pengaruh Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pencaplokan Al-Quds dan daerah-daerah lainnya oleh Tentara Salib bukannya membuat para sultan sadar akan penderitaan dan bahaya yang ada, malah memperburuknya dengan hanya memikirkan masalah kesenangan dan nafsu pribadi. Mereka memperkaya diri dengan tingginya pungutan pajak yang menyengsarakan rakyat. Mereka bangga serta lalai oleh gelimang kemewahan harta yang sebagiannya diperoleh dengan cara yang dzalim.
Rakyat mengalami kesengsaraan, ketakutan serta kelaparan yang dahsyat. Hingga ada yang harus memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang mati. Akibatnya, muncul para kanibal dari Sudan yang biasa mencari korban orang-orang yang masih hidup. Mereka membantai dan memakannya ramai-ramai.
Inilah sekelumit gambaran kemerosotan kondisi umat Islam saat itu. Tapi kita tak bisa serta merta menyalahkan para sultan saja. Ada ketidakberesan dalam mayoritas umat, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas terdahulu (as-salafus-shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan, baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan rakyat jelata.
Ajaibnya, 77 tahun kemudian, tampillah Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina. Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi ini adalah sosok utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah dia adalah seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan kesaktiannya?
Tentu tidak. Ada jarak lebih hampir satu abad antara jatuhnya Al-Quds ke tangan Tentara Salib hingga kembali ke tangan umat Islam. Tentu ada upaya sangat keras yang digerilyakan para ulama di masa jeda itu untuk memulihkan kondisi umat yang pesakitan.
Sepanjang masa keterpurukan itu, sekitar 50-an tahun, ada karya serta peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam dalam merekonstruksi umat. Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat.
Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat. Rusaknya kondisi umat saat itu adalah akibat dari sakitnya pemikiran, salah satu sebabnya adalah pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang. Perselisihan mazhab yang anarkis terjadi di mana-mana, sering terjadi tawuran antar pengikut mazhab yang mengakibatkan kerusakan, perpecahan dan anarkisme sosial-politik menjadi-jadi, kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat merentang sangat tajam.
Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek politik umat, tidak banyak tokoh yang memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin. Perpecahan, perseteruan, dan kudeta politik merupakan hal yang lumrah.
Intelejen musuh jelas mengetahui keadaan ini dan memanfaatkannya, mereka menyerang dan membantai kaum Muslimin yang sebelumnya sudah koyak dengan adanya perpecahan sektarian. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk umat di sekitar Al-Quds ketika itu.
Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan tentara Salib dilakukan oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham Al-Muluk, menteri dari Bani Saljuq yang menjabat selama 30 tahun. Tetapi tidak efektif, selain karena ia dibunuh, juga karena tidak memulai dari akar penyakit, yakni sekarat pemikiran.
Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama; pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat mengalami kesehatan jika individu dan materi berporos pada pemikiran yang benar. Mata rantai lakon manusia bermula dari niat, lalu pemikiran dan kemauan, kemudian menjelma menjadi tindakan.
Maka, setelah niat dan keyakinan, kesehatan pemikiran adalah modal dasar menuju perubahan dan kesehatan sosial. Iniah yang kemudian ditelateni para ulama ketika itu dalam memulihkan kondisi umat.
Salah satu simpul utama ulama yang mencoba memulihkan kondisi ini adalah Imam Al-Ghazali (hidup tahun 450-505 H) yang dengan akhlak, ilmu dan kecerdasannya, mampu menyatukan perpecahan madzhab yang terjadi. Ia menyadarkan para tokoh dan penganut madzhab, serta mengembalikan kondisi menjadi lebih baik. Selain usaha dan ilmu yang beliau ajarkan, curahan kecerdasannya menghasilkan karya-karya yang dengan izin Allah menyadarkan para penguasa, filosof, sufi sesat, serta kelompok ulama su’ atau ulama duniawi yang dengan ilmunya hanya bertujuan mencari simpati penguasa, harta, serta jabatan.
Fase pertama, gerakan ishlah (reformasi) yang dipelopori oleh Imam Al-Ghazali ini menggunakan metode baru untuk melakukan rekonstruksi umat. Beliau mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya pembenahan diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, kemudian kembali ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah.
Gerakan Imam Al-Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan Al-Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kepecundangan mental dari tubuh umat, yakni dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai langkah awalnya. Selanjutnya Imam Al-Ghazali melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga masyarakat pada umumnya. Imam Al-Ghazali juga mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.
Pada fase kedua, pengaruh Imam Al-Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani (hidup tahun 470-561 H) dengan madrasah dan gerakan reformasinya. Pada saat Imam Al-Ghazali meninggal, Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani sudah berusia 35 tahun. Pengaruh Imam Al-Ghazali sangat nampak dalam berbagai tulisan Al-Jaylani. Aspek ishlah yang beliau tekankan pun sama seperti yang ditekankan oleh Imam Al-Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu.
Pada fase ini, persebaran madrasah ishlah menjadi kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al-Jilani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat. Maka dari sinilah rantai Islah mulai solid dengan munculnya tokoh-tokoh ‘penguasa’ yang sadar akan pentingnya Islah, seperti Sultan Nuruddin Zanki yang beretnik Turki, lalu diteruskan oleh putra angkatnya yang beretnik Kurdi, Shalahuddin Al-Ayyubi.
Ketika Nuruddin Zanki dan Shalahudin AlAyyubi melakukan reformasi sosial politik, banyak alumni-alumni madrasah ishlah yang sudah tercerahkan mengisi posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menyongsong reformasi. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al-Quds, pada tahun 569 H, di bawah komando Al-Ayyubi, umat Islam berhasil meraih kemenangan besar dengan menebas tuntas kaum Salib yang menguasai Palestina dan merebut kembali Masjidil Aqsha.
Dalam buku Hakadza Dzaharu Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Aadat al Quds susunan Dr. Majid Irsan Al-Kilani,kemenangan itu digambarkan sebagai berikut;
“…Pertempuran pun berkecamuk dengan begitu sengitnya. Pasukan Muslim menyerbu dengan gigih demi meraih balasan surga dan mati syahid. Akhirnya mereka berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis dengan penuh gema takbir ‘Allahu Akbar!’ dan tahlil ‘Laa Ilaaha Illa Allaah!’ Gelombang pasukan Muslim bergerak dengan pasti menuju Masjid Al-Aqsha yang telah bebas lalu membersihkannya dari segala noda dan kotoran yang ditinggalkan oleh kaum Salib.
Saat kaum muslimin melaksanakan Shalat Jum’at pertama, masjid begitu sesak dan mereka tidak kuasa menahan cucuran air mata karena haru. Shalahuddin Al-Ayyubi meminta Ibn Az-Zaki As-Syafi’i (pengikut madzhab Imam Syafi’i) untuk menyampaikan khutbah Jum’at, beliau membuka khutbahnya dengan mengutip firman Allah swt.:
“Maka orang-orang yang dzolim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Surah Al-An’am: 45)
Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Shalahuddin memohon kepada Ibn Naja’ Al-Qadiri Al-Hambali (murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani serta pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) untuk menyampaikan mau’idzah (wejangan) penyemangat umat, dan saat itu, banyaklah orang yang tidak sanggup menahan cucuran air mata mereka…”
Kemenangan umat Islam dalam pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi ini tentu mengejutkan, karena sebelumnya masyarakat terjangkiti berbagai penyakit akut. Mulai dari disorientasi pendidikan, fanatisme golongan, filsafat materialisme, kesenjangan ekonomi, kerapuhan politik, kebusukan moral, dan banyak lagi penyakit sosial yang bisa disebutkan. Semua bentuk penyakit tersebut berakar dari pola pikir keliru yang terlanjur menggurita di tengah masyarakat, parahnya, terinstitusikan dalam lembaga-lembaga resmi.
Para ulama, mulai dari Al-Ghazali hingga Al-Jaylani, berikhtiar memperbaiki itu. Perubahan sosial tidak bisa terjadi dalam hitungan hari, butuh bertahun-tahun untuk mengupayakannya. Butuh lebih dari 50 tahun jaringan ulama mengobati penyakit umat di masa kelam umat Islam.
Ada lima pola yang dipraktekkan Imam Al-Ghazali dalam rentang sejarah masa kelam tersebut untuk melahirkan reformasi pemikiran umat, yakni;
Pertama, identifikasi akar penyakit. Ada suatu upaya pencerahan terhadap pola pikir, karena sehat atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan atas kondisi pemikiran yang dianutnya. Kerancuan filsafat, keterpisahan tasawuf dan fiqh, fanatisme mazhab, adalah contoh dampak negatif pemikiran yang dipulihkan Imam Al-Ghazali
Kedua, adanya evaluasi terhadap aspek pendidikan. Apa yang diupayakan Al-Ghazali, lalu kemudian dilanjutkan Al-Jaylani, bermula dari ranah pendidikan umat secara kultural dan komplit. Pembinaan moral umat tanpa tendensi politik kekuasaan. Melalui bentuk ‘sekolah formal’ semisal Nidzamiyah ala Ghazali atau Madrasah Abdul Qadir Jaylani
Ketiga, mengoptimalkan potensi spiritual. Pemapanan mental spiritual sangat nampak pada perjuangan Al-Ghazali maupun Al-Jaylani, sebagaimana terbaca dalam karya mereka. Bukan kebatinan, melainkan olah rasa yang tetap terkoneksi dengan jangkar syariat dan kemudi akal.
Keempat, gerakan kolektif. Sadar bahwa perubahan masyarakat tak bisa dilakukan sendirian, Imam Al-Ghazali mengkader murid-muridnya untuk melestarikan ide-ide reformasinya. Berlanjut ke Al-Jaylani, madrasah-madrasah yang ia dirikan di berbagai titik kota besar dan pelosok desa menjadi corong ide reformasi yang ampuh. Gerakan yang kemudian lahir adalah kombinasi berbagai unsur masyarakat yang tercerahkan berkat upaya puluhan tahun madrasah-madrasah tersebut.
Kelima, kesadaran teritorial. Persatuan umat yang diupayakan Zanki dan Al-Ayyubi tidak sekedar berdasar keyakinan sebagai umat Islam, tetapi juga kehormatan sebagai sebuah bangsa.
Jika kita mampu membaca ‘tingkah polah’ sejarah ini, maka kita bisa menakar posisi tokoh di tengah kancah sejarah kapanpun dimanapun. Kita bisa pula menentukan bagaimana bersikap terhadap zaman dan keadaan. Kita juga tidak akan terburu-buru memanen hasil. Kita tidak pula gampang pesimis dengan kondisi yang tak kunjung berubah. Karena yang terpenting adalah perubahan radikal terhadap paradigma dan pola pikir. Lalu selanjutnya, melakukan perubahan struktural di tengah masyarakat.
Panen ada masanya. Imam Al-Ghazali tidak mengalami masa kemenangan umat atas Al-Quds, namun kegemilangan yang terjadi saat itu adalah andil benih yang pernah ditanamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun 1020 M.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
B. Saran
Semakin bergumulnya dunia sekarang ini, maka perlu adanya sebuah suplement untuk mengapai ketenangan diri. Hal tersebut dapat kita capai salah satunyadengan memamahi pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali. Pemikiran-pemikiran Beliau niscaya dapat menajadi solusi dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada semakin kompleks ini.
DAFTAR PUSTAKA
Qayyum, Abdul. 1983. Surat-surat Al-Ghazali. Bandung: Mizan.
Mulkhan, Abdul Munir. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan. Jakarta: Bumi Aksara.
Syadani, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.