MAKALAH
TRANSMISI HADITS
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata kuliah Al – qur’an dan Hadits
Dosen Pengampu :
Ahmad Dahlan Lc. MA
DISUSUN OLEH :
Miftahur Rahman 14530052
Ruwaidah
Anwar
JURUSAN
ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T,
yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah - Nya sehingga kita masih diberi kesempatan menimba ilmu
sebanyak - banyaknya dan dapat terseleseikan makalah yang berjudul Proes
Transmisi Hadits pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in ini.
Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan Nabi kita, Nabi Besar Muhammad S.A.W. Berkat jasa
– jasa beliau yang sangat besar, yang telah membawa kita dari alam kegelapan,
alam kebodohan, dan alam tak bermoral ke alam yang terang – benderang ini
dengan dibuktikan adanya jurusan kita, Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Penyusun Makalah ini mengucapkan
banyak terima kasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah Al Qur’an dan Hadits dan
kepada phak pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, semoga Allah membalas semua
kebaikan kebaikan mereka.
Penyusunan Makalah ini penulis
merasa bahwa makalah ini masih banyak kekurangan - - kekurangan maka dari itu kritik dan saran
sangatlah diperlukan demi sempurnanya keilmuan yang kita miliki, Akhirnya,
Penyusun mengucapkan maaf yang sebesar – besarnyarnya kepada pembaca apabila
ada salah alam materi maupun dalam segi penulisan.
Yogyakarta
, 12 November 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar - 1
Daftar Isi - 2
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang - 3
Rumusan Masalah - 3
Tujuan - 3
Bab II Pembahasan
Pengertian
Transmisi Hadits - 4
Transmisi
Hadits Pada Masa Nabi S.AW - 5
Transmisi
Hadits Pada Era Sahabat - 7
Transmisi
Hadits pada Era Tabi’in - 9
Bab
III Penutup
Kesimpulan - 15
Saran - 15
Daftar
Putaka - 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan segala perkataan Nabi saw, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan
hukum syara’ dan ketetapannya. Jumhur ‘ulama sepakat bahwasannya Hadits adalah
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dalam memahami Islam. Oleh karena
kedudukannya yang begitu urgen dalam memahami agama, maka pengetahuan secara
historis dalam hadits perlu di telusuri dan di kaji. Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat
terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa
risalah Allah Swt. Serta para sahabat dan ‘alim ulama yang
menjadi penyambung lidah Rasulullah saw dalam menegakkan ad-Dinul Islam.
Melakukan pengkajian secara khusus
tentang periwayatan hadis sangatpenting. Dengan menunjukkan macam-macam
periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan
menyampaikan hadis dapat menunjang pemahaman umat terhadap hadits Nabi saw.
Berikut akan di paparkan proses transmisi hadits pada Era Kenabian, Era
Sahabat, dan Era Tabi’in.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu Proses Transmisi Hadits?
2. Bagaimana
Proses Transmisi Hadits Pada Era Nabi ?
3. Bagaimana
Proses Transmisi Hadits Pada Era Sahabat?
4. Bagaimana
Proses Transmisi Hadits Pada Era Tabi’in?
C. Tujuan
Mengetahui proses
periwayatan hadits pada era Nabi, Sahabat dan Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Transmisi Hadits
Menurut
KBBI transmisi itu berarti 1. Pengiriman (penerusan) pesan , 2 penularan,
penyebaran. Transmisi hadis bisa di artikan penyebaran hadis hadis Nabi. dalam
ilmu hadits yang di maksud dengan transmisi hadis adalah Ar riwayah yaitu
kegiatan penerimaan hadits , serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian
rangkaian para periwayatnya alam bentuk tertentu
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai
dengan riwayatulhadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah
masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’
(pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum
juga biasa disebut dengan riwayat. (Drs. H. EndangSoetari
Ad., M.Si, IlmuHadis, (Bandung: AmalBaktiPerss, 1997), Cet. II, h. 67.)
Sementara secara istilah ilmu hadis,
menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian
para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima
hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada
orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik
beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1.
Orang
yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2.
Apa
yang diriwayatkan (al-marwiy).
3.
Susunan
rangkaian pera periwayat (sanad/isnad).
4. Kalimat yang disebutkan sesudah
sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5.
Kegiatan
yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamulwaada
al- Hadis).
B.
Transmisi Hadits Pada Masa Nabi saw
Al-Qur’an dan
hadits merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Selama 23 tahun
Al-Qur’an di turunkan dan selama itu pula Rasulullah saw mengurai Al-Qur’an
dengan perkataan, perbuatan maupun taqrir-nya yang biasa di sebut Hadits.
Pada Era ini,
Rasulullah saw menyampaikan hadits secara langsung kepada para Sahabat baik
dalam majelis ‘ilmi, khutbah maupun ada pertanyaan dari permasalahan yang di
hadapi para sahabat.
Para sahabat pun, memiliki
perbedaan dalam menerima hadits. Di antaranya karena:
1.
Intensitas kesempatan bertemu Rasulullah
saw.
2.
Kesanggupan dalam bertanya kepada para
sahabat yang lain.
3.
Jarak tempat tinggal dengan
kediaman/Majelis Rasulullah saw.
4.
Perbedaan waktu memeluk Islam, dan
lain-lainnya.
Itulah beberapa hal yang menyebabkan perbedaan
dalam menerima hadits di kalangan Sahabat d masa Rasulullah saw. Selain itu,
dalam proses penerimaan hadits Para sahabat memiliki beberapa metode:
1. Menghafalkan
Hadits
Hal ini sesuai karakter masyarakat
Arab, yang memiliki daya ingat yang tinggi dan senang menghafal.
2.
Menulis Hadits
Ada beberapa orang di kalangan Sahabat
yang berinisiatif menulis hadits dari Baginda Nabi saw walaupun Rasulullah saw
tidak menyuruhnya. Mereka ialah:
v Abdullah
ibn Amr Al-Ash. Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya di
benarkan oleh Rasul saw, sehngga di beri nama al-Sahifah al-Shadiqah.
v Jabir
Abdillah ibn Amr al-Anshari (w.78 H). Ia memiliki catatan hadits tentang
manasik haji. Catatan tersebut dinamakan Sahifah
Jabir.
v Abu
Hurairah Ad Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadits yang di sebut Al-Sahifah Al-Shahihah yang di wariskan
kepada anaknya, Hammam.
v Dan
lain-lain.
Berikut
Cara Cara Nabi Menyampaikan Hadis
A. Hadist disampaikan Nabi melalui majelis – majelis ilmu.
Contoh Darul arqom, masjid, Dll.
B. Nabi S.A.W menyampaikan hadisnya melalui ceramah atau
pidato ditempat terbuka , seperti pada peristiwa fathu mekkah dan haji wada’.
C. Hadis disampaikan Dalam keadaan tertentu . Misalnya di
PASAR untuk mencegah penipuan dalam perdagangan.
D. Untuk perkara yang bersifat pribadi Nabi menyampaikan
hadis melalui istrinya, seperti yang berkaitan dengan persoalan keluarga dan
kebutuhan biologis – terutama masalah suami-istri.
E. Selain hadis yang bersifat perkataan nabi juga mengajarkan
hadis dengan perbuatan langsung yang di saksikan oleh sahabat , Seperti yang
berkaitan dengan praktik – praktik ibadah dan muamalah.
F. hadis di sampaikan dengan mengirim surat surat kepada
raja.
C.
Transmisi Hadits Pada Era Sahabat
Para sahabat
merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses transmisi hadits. Mereka
adalah orang-orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw, meneguk risalahNya
langsung dari sumber yang absolut. Era Sahabat berlangsung sekitar 11 H sampai
dengan 40 H. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat memfokuskan diri pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an al-karim maka periwayatan hadits pada
masa ini belum terlalu berkembang dan para sahabat terkesan membatasinya karena
khawatir bercampur dengan Kitabullah. Oleh karena itu, masa ini dikenal sebagai
masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal
min al riwayah).
Sebelum kewafatannya, Rasulullah
saw berpesan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada Al Qur’an dan
Hadits. Sabdanya:
تركت
فىكم امرىن لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبىه (رواه مالك)
Artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan (kalian) sesat
setelah berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (H.R.
Malik dalam al-Muwaththa’).
Hadits ini memotivasi para sahabat untuk
melaksanakan dan menjaga pesan-pesan Rasulullah saw. Inilah bukti cinta mereka
pada Rasulullah saw, yakni dengan memelihara hal-hal yang di contohkan Nabi
saw.
Para Sahabat sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan dan menerima hadits. Contohnya, Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq yang
meminta saksi kepada al-Mughirah yang menyebutkan hadits tentang harta warisan
ketika ada seorang nenek yang menanyakan bagian warisannya untuk dirinya kepada
Khalifah Abu Bakar.
Demikianlah sikap para sahabat dalam
menerima dan meriwayatkan hadits pada masanya, perlu di ketahui bahwa pada masa
ini belum ada kitab-kitab hadits yang resmi karena tempat mukim para sahabat
yang berbeda-beda serta kesibukan dalam membina umat di berbagai wilayah.
Adapun metode periwayatan hadits pada
masa ini ialah;
1. Periwayatan
Hadits dengan Lafazh
Yaitu
periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang di
wurudkan Rasulullah saw. Ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar
hafal apa yang di sabdakan oleh Rasulullah saw. Keorisinalan matan hadits
terjamin, karena tidak satu hurufpun di ubah oleh para Sahabat. Mayoritas
Sahabat menggunakan metode ini.
2. Periwayatan
Hadits dengan Makna
Yakni periwayatan hadits yang
matannya tidak persis sama dengan yang di dengarnya dari Rasulullah saw, tetapi
isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh , sesuai dengan yang di maksudkan
oleh Rasulullah saw tanpa ada perubahan sedikitpun. Sahabat Ibnu Mas’ud
misalnya, ketika meriwayatkan hadits beliau menggunakan istilah-istilah
tertentu. Seperti kalimat, قال رسول الله ص.م.هكذا
(Rasulullah saw telah bersabda begini).
A. Sahabat
Abu Bakar Assiddiq
Abu Bakar adalah
sahabat pertama yang menunjukkan kehati hatiannya dalam meriwayatka hadis,
Baliau sangat berhati hati dalam meriwayatkan hadis karena untuk mencegah
pemalsuan hadis.
Karena
sahabat Abu Bakar sangat berhati hati dalam meriwayatkan hadits makaa hadisnya
pun relative tidak banyak. As suyuthi
telah menghimpun hadits yang diriwayatkanoleh Abu Bakar dari berbagai mukhrij,
sebanyak 692 hadis.
B. Sahabat
Umar bin Khattab
Pada
masa Sahabat Umar seluruh sahabat focus terhadap bacaan Al Qur’an. Sahabat Umar
bin Khattab adalah orang yang paling tegas menentang orang - orang yang
menghamburkan riwayat hadis atau orang yang membawa hadis tapi tidak diperkuat
dengan seorang saksi dan ia meminta sahabat untuk memperkecil jumlah riwayat
atau tidak menghamburkannya. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak begiu saja
mempermudah urusannya, lalu engan seenaknya memasukkan segala kepalsuan, agar
tidak terhadi penipuan atau kebohongan baik dari orang - orang munafik dan
orang - orang Arab Badui
C. Sahabat
Usman bin Affan
Penyebaran
hadis pada masa sahabat usman lebih banyak dibandingkan dengan umar bin khattab
karena pada masa sahabat usman menjadi
khalifah daerah kekuasaan islam telah luas. Sahabat Usman juga tidak memita para sahabat untuktidak meriwayatkan
hadis yang tidak pernah didengar pada masa
Abu Bakar dan Umar.
D. Sahabat
Ali bin Abi Thalib
Transmisi
hadis pada masa Ali sama dengan sahabat sahabat yang lalu yaitu sangat berhati
hati dalam meriwayatkan hadis.
D.
Transmisi Hadits pada Era Tabi’in
Tabi’in
merupakan orang-orang yang belajar Al Qur’an dan Hadits lewat para Sahabat atau
merupakan kalangan muslim yang tidak bertemu langsung dengan Rasulullah SAW.
Para imam sependapat,
bahwa akhir masa tabi’ina dalah 150 H. sedangkan akhir masa atba’ at-tabi’in
adalah tahun 220 H.
1. Periwayatan
Hadits pada Masa Tabi’in
Pada Tabi’in, Islam
telah menyebar ke berbagai daerah, seperti Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan
pada tahun 93 Hijriyyah sampai ke Spanyol. Hal ini di sebabkan keberangkatan
para sahabat dalam mengemban amanah memimpin daerah maupun menyebarkan ilmu
agama. Para Tabi’in menerima hadits dari para sahabat baik di Masjid dan
lain-lainnya. Hadits yang di terima berupa catatan-catatan maupun dalam bentuk
hafalan.
Adapun Tokoh-Tokoh Hadits pada masa Tabi’in antara
lain:
Ø Madinah
: Sa’id bin al Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud,
IbnuSyihabaz-Zuhri, Muhammad bin al-Munqadir,dll.
Ø Makkah
: IkrimahMaulaIbnu Abbas, Atha’ bin AbiRabah, Thawus bin Kaisan, Mujahid bin
Jabr, dll.
Ø Kuffah
: Kamil bin Zaid an-Nakha’I, Amir bin Syurahil as-Sya’bi, Sa’id bin Jubair
al-Asadi, Ibrahom an-Nakha’I, Abu Ishaq as-Sabi’I, Abdul Malik bin Umair, dll.
Ø Syiria
(Syam) :SalimibnAbdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khulani, Abu Sulaiman
ad-Darani, dll.
Ø Mesir
:Yazid bin Abu Hubaib, Umar bin al Harits, Khair bin Nu’aim al Hadhrami,
Abdullah bin Sulaiman, dll.
Ø Yaman
:Hammam bin Munabbih, Wahb bin Munabbih, ThawusdanPutranya, Ma’mar bin Rasyid,
Abdurrazaq bin Hammam, dll.
2.
Metode
Transmisi Hadits pada era Tabi’in
Cara
penerimaan dan penyampaian Hadits yang di sepakati Ulama ada delapan, yakni:
1. As-Simaa’
Yaitu
murid mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara mengimlakkan
maupun bukan, baik dari hafalannya maupun membaca tulisannya. Bentuk
penyampainnya ialah dengan kalimat:
“sami’naa, sami’tu,
haddatsanaa, akhbarnaa, anba’anaa, qoolalanaa, dzakarolanaa.”
2. Al-Qira’ah
‘alaAsy-Syaikh
Yaitu
dengan cara seorang murid membacakan hadits di hadapan gurunya, baik dia
sendiri yang membacakan maupun orang lain yang membacanya, sedangkan dia
mendengarkannya. Shighat ada’ al-Hadits (bentuk menyampaikan hadits) yang
digunakan perawi atas dasar metode tersebut adalah:
“Qoro’tu ‘alaiih” (saya
telah membaca di hadapannya).
“Quri’a ‘alaihi wa ana
asma’u” (dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya
mendengarkannya).
“Akhbarnaa Qiroo’atun
‘alaihi” (telah mengabarkan pada kami secara pembacaan di hadapannya).
“Anba’anii qiro’atun
‘alaihi” (telah memberitahukan kepadaku
secara pembacaan di hadapannya).
3. Al-Ijazah
Yaitu
seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk menyampaikan hadits atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau mendengar bacaan gurunya.
Cara ini ada yang membolehkan dan ada
pula yang tidak memperbolehkan. Yang memperbolehkan hal ini menetapkan syarat
bahwa sang guru harus benar-benar ahli ilmu dan mengerti kitab yang di
ijazahkan, serta naskah muridnya harus menyamai dengan yang asli, sehingga
seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya. Bentuk penyampainnya diantaranya
adalah:
“Akhbarnaa Fulaan
Ijaazah” ( Fulan telah memberikan kabar kepada kami dengan cara ijazah).
“Fii maa Ajaazanii
Fulaan” (mengenai apa yang telah di ijazahkan fulan pada kami).
4. Al-Munawalah
Yaitu
seorang guru memberikan kitab asli atau
salinan kitab yang telah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.
Cara
ini terdiri atas dua macam, yaitu: al-munawalah yang dibarengi ijazah dan
al-munawalah yang tidak dibarengi ijazah Shigat
ada’ al-hadits yang di gunakan oleh perawi atas dasar al-munawalah, di antaranya adalah:
“Akhbarnaa
munaawalatan” (telah memberikan kabar kepada kami
dengan cara munawalah)
“Fiimaa
Naawalanaa” (mengenai apa yang diberikan kepada
kami dengan cara munaawalah).
5. Al-Mukaatabah
Yaitu
seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan
sebagian haditsnya untuk diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau
yang tidak hadir dengan jalan mengirim surat melalui orang yang dipercaya untuk
menyampaikannya.
Cara
ini terdiri atas dua macam, yaitu:
al-mukatabah yang dibarengi ijazah dan al-mukatabah yang tidak di barengi
ijazah.
Bentuk penyampaiannya,
berupakalimat:
“Kataba ilayya Fulaan”
(Fulan telah menuliskan kepadaku).
6. Al-I’lam
Maksudnya
adalah pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadits atau kitab yang
diriwayatkan, dia terima dari seseorang tanpa menyatakan secara jelas. Cirinya:
“A’lamnii Fulaan…Qoola
Haddatsanaa” (fulan telah memberitahukan padaku, diaberkata: telah menceritakan
kepada kami).
“Fiima A’lamnii
Syaikkhii” (mengenai apa yang telah diberitahukan kepadaku dari guruku
dengancara I’lam).
7. Al-Washiyyah
Yaitu
seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian jauh, meninggalkan pesan
kepada orang lain untuk meriwayatkan kitabnya apabila dia meninggal atau
berpergian. Periwayatan dengan cara ini menurut jumhur ulama dianggap sangat
lemah. Cirinya:
“Aushaa
ilayya Fulaan” (Fulan telah berwasiyat padaku)
“Akhbaronii
Fulaan bil Washiyyati” (Fulan telah mengabarkan padaku
dengan cara wasiyat)
8. Al-Wijadah
Maksudnya adalah seseorang memperoleh
kitab orang lain tanpa proses sima’, ijazah atau munawalah. Misalnya seseorang
menemukan hadits dari tulisan-tulisan orang semasanya atau tidak semasanya,
tetapi dia tahu persis bahwa tulisan tersebut merupakan tulisan orang yang
dapat dipercaya. Cirinya:
“Wajadtu fii kitaabi
Fulaan” (saya menemukan dalam kitab fulan)
“Wajadtu Bi khoththi Fulaan” (Saya
menemukan dalam tulisan Fulan)
BAB III
Penutup
1. Kesimpulan
Proses
periwatan hadis pada masa Nabi sampai wafatnya yang kemudian kepemimpinan
khalifah dan generasi selanjutnya membuktikan bahwa betapa pentingnya menjaga
hadis dari orang – orang yang memalsukan hadis dan semua generasi dari Nabi
sampai generasi selanjutnya menunjukkan pengontrolan yang tinggi terhadap
penyebaran hadis untuk mencegah adanya hadis hadis palsu.
2.
Saran
Hadis
adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi hendaklah dijaga dengan sangat
hati – hati. Hadis adalah sumber kedua ajaran Islam, untuk itu pentig bagi kita
untuk mengetahui ilmu dan perkembangannya.
Daftar Pustaka
Suparta
M.A, Dr. H. Munzier.2013.Ilmu Hadits.Jakarta:Rajawali Press
Zuhri,
Muh,. 2003. Hadis Nabi telaah Historis dan Metodoogis. Yogyakarta :tiara
wacana jogja
Thahhan, Mahmud,. 2004.
Ulumul hadis. Yogyakart: Titian ilahi Press.
Khon, abdul Majid,
2009. Ulumul hadis. Jakarta : Amza.